Penulis Dr. Syahriyah Semaun, SE., MM. (Ketua Prodi Akuntansi Syariah) OPINI — Krisis ekonomi global akibat wabah virus Corona atau pandemi Covid-19, kegiatan logistik, pariwisata dan perdagangan merupakan sektor yang memperoleh dampak besar dari wabah virus Corona.Hal ini diakibatkan larangan sejumlah pemerintah untuk melakukan perjalanan ke luar negeri dan penutupan beberapa sektor
Namunsayangnya, sistem pemerintahan global yang memadai tidak dibentuk. Faktor politik lebih aktif ikut campur dalam kebijakan ekonomi, bahkan hingga menggantikan persaingan pasar. Sanksi hanyalah manifestasi paling nyata dari kecenderungan tersebut. 2. Ekonomi Rusia dipengaruhi masalah struktural, bukan harga minyak atau pun sanksi Pada 2015
bukandisebabkan oleh faktor-faktor lain, melainkan karena keberhasilannya sendiri. Sistem kapitalis dinilai Marx mewarisi daya self destruction, suatu daya dari dalam yang akan membawa kehancuran bagi sistem perekonomian liberal itu sendiri. Krisis ekonomi global yang terjadi saat ini diawali dengan krisis keuangan di Amerika
Yangbukan factor pengaruh krisis ekonomi global adalah? Kemandirian kerja Kemiskinan Keterbelakangan Pengangguran Keterburukan hidup Jawaban: A. Kema Breaking News
MenurutSuahasil, kondisi di Amerika Serikat bukanlah kondisi yang sederhana, melainkan memiliki dampak yang luar biasa terhadap ekonomi negara lain. "Inflasi 9,1 persen di Amerika erikat itu bukan sesuatu yang simpel, bukan sesuatu yang sering terjadi, bahkan dia terjadi dalam kondisi yang sangat sangat jarang sekali," kata Suahasil dalam Mid
2009terjadi krisis ekonomi global yang dianggap sebagai krisis finansial terburuk sepanjang sejarah selama 80 tahun terakhir, krisis tersebut disebut dengan ''The Mother of All Crisis' '.
. - Baru-baru ini sejumlah pihak telah memprediksi akan terjadinya resesi dan krisis ekonomi global pada tahun 2023. Salah satunya disampaikan oleh Kepala Otoritas Jasa Keuangan OJK Mahendra Siregar. Namun, ia belum bisa memprediksi seberapa serius resesi yang akan terjadi dan berapa lama itu akan berlangsung. Seperti diberitakan Antara, Mahendra mengatakan, secara keseluruhan, ekonomi Indonesia akan terus tumbuh di atas 5 persen tahun 2022 dan 2023. “Jika dalam perkembangan selanjutnya kami merasa diperlukan kebijakan yang tepat untuk mencapai target tersebut, tentu kami akan merumuskan dan mengesahkan kebijakan tersebut,” ungkapnya. Definisi Resesi Secara umum, pengertian resesi adalah adanya penurunan atau kelesuan dalam kegiatan ekonomi. Hal ini terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama. Menurut Modul Hukum UMA 2022, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang spesifik. Dan terjadi dalam waktu yang lama, bisa berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Resesi ekonomi dapat menimbulkan berkurangnya keuntungan perusahaan, bertambahnya angka pengangguran dan kebangkrutan ekonomi. Secara garis besar, resesi dapat terjadi ketika ekonomi tidak bertumbuh selama dua kuartal berturut-turut. Menurut Forbes, terjadinya resesi tidak dapat dihindari. Karena merupakan bagian dari siklus bisnis serta kontraksi reguler yang dapat terjadi dalam perekonomian suatu negara. Resesi menyebabkan tingkat pengangguran tinggi, perusahaan menjual lebih sedikit dan output ekonomi negara menurun. Ciri-Ciri Negara yang Terancam Resesi Ekonomi Dilansir dari The Balance, ciri-ciri ancaman resesi di antaranya adalah terjadinya pertumbuhan kuartal negatif selama resesi berlangsung. Lalu, diikuti dengan pertumbuhan positif untuk beberapa triwulan. Namun, pertumbuhan kuartal kembali negatif. Resesi singkat pada umumnya terjadi selama 9 sampai 18 bulan. Akan tetapi, dampaknya dapat berlangsung lama. Pertanda awal terjadinya resesi adalah adanya perubahan dalam dunia industri manufaktur. Produsen akan menerima orderan barang tahan lama dalam jumlah yang besar beberapa bulan pesanan itu menurun seiring waktu, begitu pula pekerjaan pabrik. Ketika produsen berhenti merekrut, itu berarti sektor ekonomi lain akan melambat. Turunnya permintaan pembeli menjadi faktor penyebab lambatnya pertumbuhan. Ketika penjualan turun, maka bisnis akan berhenti berkembang. Resesi dimulai ketika produsen berhenti merekrut karyawan baru. Dampak dari Resesi Ekonomi Resesi ekonomi diharapkan tidak pernah terjadi dalam suatu negara. Resesi tidak berdampak pada pemerintah saja. Namun, juga pada perusahaan dan perorangan. Berikut dampak resesi seperti disadur dari Modul Hukum UMA 2022 1. Dampak resesi ekonomi bagi pemerintahResesi membuat pendapatan negara dari sektor pajak dan sektor non pajak menurun. Hal ini disebabkan pendapatan masyarakat yang menurun. Sehingga harga properti ikut turun dan menyebabkan minimnya jumlah PPN yang masuk ke kas negara. Saat penghasilan negara menurun, pemerintah tetap dituntut untuk membuka lowongan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Penyebabnya adalah tingkat pengangguran yang tinggi. Menyebabkan hutang ke bank asing bertambah. Disisi lain pembangunan terus berjalan di berbagai sektor pemerintahan, salah satunya menjamin kesejahteraan rakyat. Turunnya pendapatan pajak serta bertambahnya pembayaran kesejahteraan menyebabkan defisit anggaran. Selain itu, utang pemerintah juga bertambah. 2. Dampak resesi ekonomi bagi perusahaanPerusahaan akan terancam bangkrut ketika terjadi resesi ekonomi. Saat resesi daya beli masyarakat mengalami penurunan dan pemasukan perusahaan juga ikut turun. Hal tersebut dapat mempengaruhi kelancaran arus kas. Supaya terhindar dari kebangkrutan, perusahaan terpaksa melakukan perang harga. Akan tetapi, hal ini justru menyebabkan keuntungan turun dan harus ditutupi dengan efisiensi. Pada umumnya, perusahaan akan menutup jaringan bisnis yang tidak begitu menguntungkan. Memangkas biaya operasional juga bisa menjadi opsi lain. 3. Dampak resesi ekonomi bagi pekerjaEfisiensi yang dilakukan oleh perusahaan saat resesi berpengaruh bagi para pekerja. Menutup jaringan bisnis yang tidak begitu menguntungkan serta memangkas biaya operasional artinya adalah PHK kepada pekerja. Apabila terjadi PHK, maka angka pengangguran makin tinggi. Padahal tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup terus berjalan. Namun, pekerja yang tidak kena PHK juga berpotensi mengalami pemotongan gaji dan hak kerja yang lain. Baca juga Apakah Investasi Saham dan SBN Aman untuk Hadapi Resesi 2023? Tips Membeli Emas Batangan di Tengah Ancaman Resesi 2023 Sejarah 5 Resesi Terbesar di Dunia Ada Asian Crisis hingga OPEC - Pendidikan Kontributor Tifa FauziahPenulis Tifa FauziahEditor Yandri Daniel Damaledo
Minggu ini, di saat para menteri beserta gubernur bank-bank sentral G20 sedang berkumpul di Bali, mereka menghadapi prospek ekonomi global yang telah meredup secara signifikan. Terakhir kalinya G20 bertemu bulan April lalu, IMF baru saja memangkas perkiraan pertumbuhan globalnya menjadi 3,6 persen untuk tahun ini dan selanjutnya—dan kami pun memperingatkan bahwa kondisi bisa memburuk mengingat adanya potensi risiko penurunan. Saat ini, beberapa risiko tersebut telah terwujud. Berbagai krisis yang dihadapi dunia pun semakin intens. Tragedi kemanusiaan dari perang di Ukraina semakin parah. Demikian pula dengan dampak ekonominya, terutama guncangan harga komoditas yang memperlambat pertumbuhan dan memperburuk krisis biaya hidup yang mempengaruhi ratusan juta orang—terutama orang miskin yang tidak mampu menghidupi keluarga mereka. Situasi ini hanya akan memburuk. Tingkat inflasi lebih tinggi dari yang diprakirakan, bahkan meluas ke sektor selain pangan dan energi. Hal ini telah mendorong bank-bank sentral utama untuk mengumumkan pengetatan moneter lebih lanjut sebagai hal yang amat diperlukan, tetapi akan membebani upaya-upaya pemulihan. Disrupsi terkait pandemi yang terus berlanjut, terutama di Tiongkok, dan hambatan-hambatan baru pada rantai pasokan global menghambat aktivitas ekonomi. Akibatnya, indikator terbaru menyiratkan kuartal kedua yang lemah—dan kami akan memproyeksikan penurunan lebih lanjut bagi pertumbuhan global tahun 2022 dan 2023 dalam World Economic Outlook Update kami yang akan keluar di bulan ini. Tentu, prospek ekonomi tersebut memang amat tidak pasti. Bayangkan, adanya gangguan lanjutan dalam pasokan gas alam ke Eropa dapat menjerumuskan perekonomian banyak negara ke dalam resesi dan memicu krisis energi global. Ini hanyalah salah satu faktor yang dapat memperburuk situasi yang sudah sulit. 2022 akan menjadi tahun yang menantang—dan 2023 kemungkinan akan lebih berat dengan bertambahnya risiko resesi. Karena itulah, kita perlu tindakan tegas dan kerja sama internasional yang kuat, dipimpin oleh G20. Laporan baru kami untuk G20 menguraikan kebijakan yang dapat digunakan negara untuk mengarungi lautan permasalahan ini. Ada tiga prioritas yang saya soroti. Pertama, negara harus mengerahkan segala upaya untuk menurunkan tingkat inflasi yang tinggi Mengapa? Karena tingkat inflasi yang tinggi secara terus-menerus dapat menenggelamkan upaya pemulihan dan semakin merusak standar hidup, terutama bagi masyarakat rentan. Inflasi telah mencapai level tertinggi selama beberapa dekade di banyak negara, dengan inflasi IHK headline inflation dan inti core inflation yang terus meningkat Gambar 1. Hal ini telah memicu siklus pengetatan moneter yang semakin tersinkronisasi 75 bank sentral—atau sekitar tiga perempat dari bank sentral yang kami pantau—telah menaikkan suku bunga sejak Juli 2021, dan mereka telah melakukannya rata-rata 3,8 kali. Untuk negara emerging dan berkembang, di mana kebijakan suku bunga tersebut dinaikkan dengan lebih cepat, total peningkatan rata-rata adalah 2,3 poin persentase—hampir dua kali lipat negara maju, yaitu 1,7 poin persentase. Sebagian besar bank sentral perlu terus memperketat kebijakan moneter secara tegas. Ini sangat mendesak untuk dilakukan, terutama di negara dengan ekspektasi inflasi yang mulai mengalami de-anchor yaitu perubahan harga-harga dalam jangka pendek mempengaruhi ekspektasi inflasi jangka panjang. Tanpa adanya tindakan, negara-negara ini dapat menghadapi spiral kerusakan upah-harga yang akan membutuhkan pengetatan moneter lebih kuat, dengan dampak yang lebih besar lagi terhadap pertumbuhan dan lapangan kerja. Bertindak sekarang juga tidak akan semenyakitkan jika terlambat bertindak. Yang tidak kalah pentingnya yaitu komunikasi yang jelas tentang kebijakan ini, untuk menjaga kredibilitas kebijakan karena besarnya risiko penurunan downside. Misalnya, kejutan inflasi yang berkelanjutan akan memerlukan pengetatan moneter yang lebih tajam di luar perkiraan pasar, dan berpotensi menyebabkan volatilitas dan aksi penjualan sell-off lanjutan di pasar aktiva berisiko maupun pasar obligasi negara. Hal ini kemudian dapat mendorong arus keluar modal dari negara-negara emerging dan berkembang. Apresiasi dolar AS bertepatan dengan arus keluar portofolio dari pasar negara emerging mereka mengalami arus keluar selama empat bulan berturut-turut pada bulan Juni, dan ini merupakan yang terpanjang dalam tujuh tahun. Hal ini kian menambah tekanan pada negara-negara yang rentan. Jika guncangan eksternal begitu mengganggu sehingga tidak dapat diserap oleh nilai tukar yang fleksibel belaka, pembuat kebijakan harus siap untuk bertindak. Misalnya melalui intervensi valuta asing atau langkah-langkah manajemen aliran modal dalam skenario krisis, demi membantu ekspektasi anchor anchor expectations. Selain itu, diperlukan tindakan dini untuk mengurangi ketergantungan akan pinjaman mata uang asing di mana tingkat utangnya tinggi. Untuk membantu respons negara-negara dalam kondisi demikian, kami baru-baru ini memperbarui pandangan institusional IMF tentang isu ini. IMF juga ditingkatkan untuk melayani para negara anggota dengan cara lain, termasuk memberikan nasihat tentang pengelolaan aset cadangan dan bantuan teknis untuk memperkuat komunikasi bank sentral. Tujuannya adalah untuk mengantarkan semua orang dengan aman dalam menyeberangi siklus pengetatan ini. Kedua, kebijakan fiskal harus membantu—dan tidak menghalangi—upaya bank sentral untuk menurunkan inflasi Negara-negara yang menghadapi tingkat utang tinggi juga perlu memperketat kebijakan fiskal mereka. Hal ini akan membantu mengurangi beban pinjaman yang semakin mahal dan—secara bersamaan—mendukung upaya moneter untuk menjinakkan inflasi. Di negara-negara di mana pemulihan dari pandemi lebih maju, pengalihan dukungan fiskal luar biasa akan membantu mengurangi permintaan dan dengan demikian mengurangi tekanan harga. Namun itu baru sepotong dari cerita keseluruhan. Beberapa masyarakat akan membutuhkan tambahan dukungan, bukan pengurangan. Hal ini membutuhkan langkah-langkah yang ditargetkan dan bersifat sementara untuk mendukung rumah tangga yang rentan menghadapi guncangan-guncangan baru, terutama terkait harga energi atau pangan yang tinggi. Dalam situasi ini, bantuan langsung tunai terbukti efektif dibandingkan dengan subsidi distorsif atau pengontrolan harga, yang biasanya gagal mengurangi biaya hidup secara berkelanjutan. Pada jangka menengah, reformasi struktural juga penting untuk mendorong pertumbuhan. Pikirkan mengenai kebijakan pasar tenaga kerja yang dapat membantu masyarakat bergabung dengan angkatan kerja, terutama bagi perempuan. Langkah-langkah baru harus netral terhadap anggaran, artinya, didanai melalui pendapatan baru atau pengurangan pengeluaran di tempat lain tanpa menimbulkan utang baru dan menghindari untuk bertentangan dengan kebijakan moneter. Era baru dengan tingginya utang hingga memecahkan rekor, juga tingginya tingkat suku bunga, membuat semua hal tersebut semakin penting. Mengurangi utang sekarang menjadi kebutuhan mendesak—terutama di negara dan ekonomi emerging yang memiliki kewajiban dalam mata uang asing forex yang lebih rentan terhadap pengetatan kondisi keuangan global, dan di mana biaya pinjaman melonjak. Imbal hasil obligasi forex negara telah mencapai lebih dari 10 persen di sekitar sepertiga negara emerging, mendekati level tertinggi yang terakhir terlihat setelah krisis keuangan global. Negara-negara emerging dengan ketergantungan lebih besar pada pinjaman domestik, misalnya di Asia, telah lebih terisolasi dari dampaknya. Namun, perluasan tekanan inflasi dan kebutuhan untuk mengetatkan kebijakan moneter domestik secara lebih cepat dapat mengubah perhitungan tersebut. Situasinya semakin parah bagi perekonomian yang hampir—atau berada dalam—kesulitan utang, termasuk 30 persen negara-negara pasar emerging dan 60 persen negara-negara berpenghasilan rendah. Sekali lagi, IMF ada untuk para anggotanya dengan menawarkan saran dan analisis sesuai kebutuhan, serta kerangka pinjaman yang lebih luwes untuk mendukung untuk mendukung negara-negara di saat krisis. Hal ini termasuk pembiayaan darurat, peningkatan batas akses, likuiditas dan jalur kredit baru, serta alokasi SDR tahun lalu sebesar $650 miliar yang pertama kali dalam sejarah . Di luar upaya tersebut, sangat mendesak untuk adanya tindakan yang tegas dari seluruh pihak yang berkepentingan untuk meningkatkan dan menerapkan Kerangka Kerja Umum G20 G20 Common Framework untuk perlakuan pinjaman. Pemberi pinjaman skala besar—baik yang negara maupun swasta—perlu meningkatkan peran mereka. Waktu tidaklah berpihak pada kita. Sangat penting bagi komite kreditur Chad, Ethiopia, dan Zambia untuk memberikan kemajuan sebanyak mungkin pada pertemuan mereka bulan ini. Ketiga, kita membutuhkan dorongan baru untuk kerja sama global—dipimpin oleh G20 Untuk menghindari potensi krisis dan meningkatkan pertumbuhan serta produktivitas, tindakan internasional yang lebih terkoordinasi amatlah dibutuhkan. Kuncinya adalah untuk membangun kemajuan terkini di berbagai bidang, mulai dari perpajakan dan perdagangan hingga kesiapsiagaan menghadapi pandemi dan perubahan iklim. Dana baru G20 sebesar $1,1 miliar untuk pencegahan dan kesiapsiagaan pandemi menunjukkan sesuatu yang mungkin, seperti halnya juga keberhasilan baru-baru ini di World Trade Organization. Yang paling mendesak dari semuanya adalah tindakan untuk mengurangi krisis biaya hidup, yang telah mendorong 71 juta orang tambahan di negara-negara termiskin di dunia ke dalam jurang kemiskinan ekstrem, menurut laporan United Nations Development Program me. Di saat kekhawatiran yang meningkat terhadap pasokan makanan dan energi, risiko ketidakstabilan sosial pun meningkat. Untuk menghindari kelaparan, kekurangan gizi dan migrasi lebih lanjut, negara-negara maju di dunia harus memberikan dukungan mendesak bagi mereka yang membutuhkan, termasuk dengan pembiayaan bilateral dan multilateral baru, terutama melalui World Food Programme. Sebagai langkah segera, negara-negara perlu membatalkan pembatasan yang diberlakukan baru-baru ini terkait ekspor makanan. Mengapa? Karena pembatasan semacam itu berbahaya dan tidak efektif dalam menstabilkan harga domestik. Langkah-langkah lebih lanjut juga diperlukan untuk memperkuat rantai pasokan dan membantu negara-negara rentan untuk mengadaptasi produksi pangan dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Di sini, IMF juga siap membantu. Kami bekerja sama dengan para mitra internasional, termasuk melalui inisiatif baru mengenai ketahanan pangan multilateral . Selain itu, Resilience and Sustainability Trust kami yang baru akan menyediakan $45 miliar dalam pembiayaan lunak concessional financing untuk negara-negara yang rentan—dengan tujuan mengatasi tantangan jangka panjang seperti perubahan iklim dan pandemi di masa yang akan datang. Dan kami siap untuk berbuat lebih banyak. Kondisi yang teramat pelik di berbagai negara Afrika saat ini amatlah penting untuk dipertimbangkan. Dalam pertemuan saya dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari benua tersebut minggu ini, banyak yang menyoroti efek dari kejutan-kejutan yang sepenuhnya eksternal, yang telah mendorong ekonomi mereka ke ambang batas. Efek dari harga pangan yang lebih tinggi amat dirasakan masyarakat, karena makanan merupakan bagian terbesar dari pendapatan mereka. Tekanan inflasi, fiskal, utang dan neraca pembayaran semuanya mengalami peningkatan. Sebagian besar negara sekarang benar-benar tertutup dari pasar keuangan global; dan, tidak seperti daerah lain, mereka tidak memiliki pasar domestik yang besar untuk dituju. Dengan latar belakang masalah tersebut, mereka menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengambil langkah-langkah berani untuk mendukung rakyat mereka. Ini adalah panggilan yang perlu kita perhatikan. Di saat G20 bertemu untuk menghadapi lautan masalah’ ini, kita semua bisa mengambil hikmah dari peribahasa Bali yang mencerminkan semangat yang kita perlukan sekarang—menyama braya, “kita semua sanak saudara.” ***** Kristalina Georgieva biografi dalam link
Jakarta - Mengapa terjadi kemorosotan yang tajam atas Indeks Harga Saham Gabungan IHSG di Bursa Efek Indonesia BEI. Juga anjloknya nilai tukar Rupiah atas beberapa mata uang regional dan internasional. Pada awalnya krisis hanya sebatas melanda negara Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara yang bergabung di Uni Eropa. Namun, aliran gelombang krisis yang keras ternyata sampai di kawasan Asia. Para investor yang menanamkan modalnya pada sektor non riil mulai menarik kembali dana-dana mereka yang tertanam di lantai bursa. Penarikan dana dengan denominasi mata uang asing oleh investor di beberapa negara kawasan Asia tujuannya adalah menutupi kerugian keuangan yang tengah melanda negara-negara investor tersebut. Kebijakan penarikan dana semakin agresif seiring dengan keringnya likuiditas negara-negara investor. Perilaku ini bisa kita cermati dengan meroketnya bunga pasar uang antar Indonesia kejatuhan IHSG yang pada penutupan 27/10/2008 mencapai 6,96% atau turun sebesar 48,96 point dengan total IHSG sebesar 1,166 point merupakan nilai yang sama di tahun 2000. Merosotnya IHSG yang mencapai angka 6,96% adalah penurunan tertinggi untuk kawasan Asia. Kecuali Bursa Filipina yang mencapai 12%. Otoritas Bursa terpaksa mensuspensi perdagangan saham pada sesi pertama. Selain itu bursa regional seperti Han Seng, Nikkei, Kospi, Seoul, dan Strait Times Singapore turun rata-rata sekitar 3%-5%.Gejolak penarikan dana oleh investor asing terlihat pada Surat Utang Negara. Tercatat sedikitnya Rp 2,1 triliun dana berdenominasi asing yang tertanam di SUN telah keluar. Derasnya penarikan dana oleh investor berimbas kepada pelemahan nilai tukar rupiahterhadap beberapa mata uang asing. Pemerintah lewat Bank Indonesia mencoba untuk menahan laju pelemahan rupiah lewat intervensi pasar. Namun, tentu saja dengan kekuatan yang seharunya sudah terkalkulasi. Anjloknya beberapa mata uang asing atas dolar Amerika juga melanda negara-negara Asia lainnya. Pelemahan yang terasa terjadi atas mata uang dolar Australia yang terdepresiasi lebih dari 10% atas dolar banyak pihak mengatakan kejatuhan indeks saham di suatu negara bukan merupakan indikator ekonomi suatu negara. Tetapi, imbas secara psikologi ternyata menguat pengaruhnya kepada sektor ekonomi. Kondisi-kondisi di atas menggambarkan betapa besarnya nilai peredaran-peredaran mata uang asing yang tertanam lewat beberapa instrumen ekonomi sektor non riil. Bursa saham, obligasi, dan Surat Utang Negara masih menjadi idola bagi para pemodal untuk menanamkan saja pemerintah lewat beberapa kebijakan serta kemudahan-kemudahan berinvestasi mengajak para investor untuk menanamkan uangnya pada sektor riil. Lantas sejauh mana pengaruh krisis keuangan global yang mengakibatkan anjloknya IHSG dan merosotnya nilai tukar rupiah kepada sektor rill? Pada beberapa komoditas yang bersentuhan langsung dengan petani kecil atau pengusaha kecil dan menengah yang berorientasi ekspor sangat dirasakan sekali dampak terjadinya krisis keuangan global ini. Pesanan-pesanan dari pembeli yang berkedudukan di luar negeri terpaksa dibatalkan. Mereka lebih memfokuskan diri kepada restrukturisasi keuangan internal. Terlebih lagi semakin sulitnya mendapat kucuran kredit dari perbankan dalam juga yang dialami beberapa petani yang menggarap komoditas-komoditas seperti kelapa sawit, karet, dan kopra. Ketiga komoditas tersebut di lapangan terjadi penurunan harga jual yang mencapai 60%-70%. Akibat penurunan yang tajam tersebut membuat petani tidak mampu lagi melakukan produksi dikarenakan hasil penjualan yang diterima masih di bawah ongkos produksi secara total keseluruhan. Sektor properti yang sangat terasa menerima imbasan dari krisis ini. Pertumbuhan industri properti dalam negeri yang lamban ditandai dengan adanya penjadwalan kembali atas rencana proyek yang sudah ditetapkan. Perbankan sepertinya menyetop sementara untuk pemberian kredit sektor properti. Bagi industri properti pendanaan dari perbankan merupakan kebutuhan dana yang vital di samping mereka mengalokasikan dana yang sangat dirasa adalah kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah. Dengan ditetapkannya suku bunga acuan atau BI rate yang baru sebesar akan menambah cost of fund dari pengembang jika sumber dana berasal dari pinjaman. Kenaikan ini memberatkan sisi konsumen yang akan menanggung kisaran bunga kredit kepemilikan sebesar 13%-16%. Di tengah krisis keuangan yang mendera seluruh dunia masih ada berita baik dengan menurunnya harga minyak dunia. Penurunan harga minyak dunia yang pagi mencapai USD 62,86 per barel membawa sesuatu yang positif bagi APBN. Khususnya penurunan bagi pos tarif subsidi. Sampai kapan krisis keuangan global akan berakhir? Siapa pun tidak bisa memprediksi. Terpenting adalah bagaimana agar sisi fundamental ekonomi semakin kuat. Helmy HarahapPerumahan Puri Beta Cluster Hujan Mas No 12Tangeranghelmy_harahap msh/msh
yang bukan faktor pengaruh krisis ekonomi global adalah